Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Nusantara (KSPN), Ristadi, mengungkapkan bahwa jumlah pekerja yang terkena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) di Indonesia saat ini sangat memprihatinkan. Data dari Sakernas Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa antara Agustus 2024 hingga Februari 2025, terdapat 939.038 pekerja yang di-PHK dari berbagai sektor usaha.
Selama periode yang sama, penyerapan tenaga kerja baru mencatatkan angka 523.383 pekerja. Dengan demikian, terdapat pengurangan tenaga kerja sebanyak 415.655 pekerja, di mana sektor yang paling banyak terpengaruh adalah Tekstil, Produk Tekstil, dan Alas Kaki.
Salah satu faktor utama penyebab tingginya angka PHK ini adalah diterapkannya Permendag No. 8 Tahun 2024 yang berkaitan dengan kebijakan relaksasi impor. Meskipun regulasi tersebut telah direvisi, dampak buruk bagi sektor manufaktur sudah terasa sejak awal implementasinya pada 17 Mei 2023.
Sejalan dengan data dan situasi yang terjadi, pekerja KSPN melakukan aksi unjuk rasa pada 1 Juni 2025 di depan Istana Negara. Mereka mengangkat isu penting yaitu perlunya tindakan tegas terhadap impor ilegal serta revisi Permendag 8 Tahun 2024. Ristadi menyatakan bahwa langkah ini diambil karena banyak anggota KSPN dan pekerja lainnya mengalami PHK atau terancam PHK.
Ristadi menambahkan, “Stok barang di gudang menumpuk dan volume pesanan terus menurun,” diungkapkannya dalam sebuah pernyataan awal bulan lalu.
Pengamatan Terhadap Dampak Kebijakan Impor
Dari hasil pengamatan dan survei lapangan yang dilakukan oleh Ristadi dan timnya, terungkap sejumlah fakta mencolok. Pertama, adanya banjir barang impor di pasar dengan harga yang lebih murah telah mengancam kelangsungan usaha sektor lokal.
Tindakan relaksasi kebijakan impor ini memicu fenomena di mana oknum importir melakukan aktivitas ilegal, yang pada gilirannya merugikan industri dalam negeri. Akibatnya, banyak produk lokal tidak laku di pasaran, yang berdampak pada penurunan utilisasi perusahaan dan berujung pada PHK.
Kedua, belanja Pemerintah terhadap industri jasa dan barang juga mengalami penurunan akibat kebijakan efisiensi anggaran. Hal ini menyebabkan industri yang bergantung pada belanja pemerintah tertekan dan terpaksa melakukan PHK guna bertahan.
Pertumbuhan Industri dan Ancaman PHK Berkelanjutan
Untungnya, di kuartal II tahun 2025, pertumbuhan industri tercatat mencapai 5,68%, yang menunjukkan angka yang lebih baik dari pertumbuhan ekonomi yang hanya 5,12%. Menurut Ristadi, hal ini menjadi angin segar meskipun PHK masih terjadi, dengan tingkat yang tidak sebesar sebelumnya.
Ia mengurai bahwa faktor-faktor seperti peningkatan investasi baru dan penurunan tingkat utilisasi produksi menjadi alasan mengapa PHK tidak begitu masif seperti beberapa bulan sebelumnya. Namun, ancaman PHK tetap membayangi jika barang-barang impor terus meramaikan pasar dengan harga lebih kompetitif.
Ristadi juga mencatat penurunan tingkat konsumsi domestik yang menjadi tantangan bagi sektor industri barang dan jasa. Jika ini berlanjut, efek berantai akan semakin besar dan berpotensi mempengaruhi lapangan kerja di sektor lainnya.
Seruan untuk Tindakan Segera dari Pemerintah
Melihat keadaan ini, Ristadi menyerukan pemerintah untuk segera mengambil tindakan nyata. Pertama, ada kebutuhan mendesak untuk melaksanakan revisi Permendag No. 8/2024, khususnya berkaitan dengan pengendalian impor yang perlu menjadi fokus utama.
Ristadi menegaskan, pengawasan dan pengetatan dalam kebijakan ini harus dilakukan agar oknum importir tidak memiliki celah lagi untuk mengakali kebijakan yang ada. Tindakan tegas terhadap praktik impor ilegal, menurutnya, juga harus diperkuat.
Selanjutnya, Ristadi meminta agar pemerintah meningkatkan belanja kepada industri barang dan jasa dalam negeri yang memiliki komponen lokal yang signifikan. Hal ini diharapkan akan meningkatkan aktivitas rantai pasok dalam negeri dan pada gilirannya mendongkrak pertumbuhan ekonomi.
Belanja pemerintah, menurut data dari BPS, masih memiliki kontribusi yang relatif kecil terhadap pertumbuhan ekonomi saat ini. Oleh karena itu, peningkatan anggaran ini sangat diharapkan dapat membawa dampak positif bagi pemulihan sektor industri.
Dengan serangkaian langkah strategis yang diusulkan tersebut, diharapkan dapat mengurangi angka PHK dan memberikan perbaikan yang signifikan bagi kondisi perburuhan di Indonesia.