Center of Economic and Law Studies (CELIOS) telah mengirimkan surat kepada Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk meminta audit atas data yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) mengenai pertumbuhan ekonomi Indonesia yang sebesar 5,12 persen pada kuartal II tahun 2025. Direktur Eksekutif CELIOS, Bhima Yudhistira, menilai bahwa data tersebut tidak mencerminkan kondisi riil yang terjadi di lapangan dan seharusnya BPS bersikap netral serta transparan dalam laporan mereka.
Dalam siaran pers yang dirilis, Bhima menegaskan bahwa data pertumbuhan tersebut perlu ditinjau kembali. Ia mengungkapkan keprihatinan terkait transparansi dan integritas data yang disajikan oleh BPS, yang seharusnya bebas dari pengaruh politik.
Surat yang dikirimkan mencakup permintaan untuk meneliti lebih lanjut mengenai angka pertumbuhan ekonomi tersebut. Terdapat kekhawatiran bahwa data yang tidak akurat dapat berimbas pada pengambilan kebijakan yang keliru.
Pentingnya Data yang Akurat dalam Ekonomi
Data ekonomi yang akurat merupakan fondasi yang sangat penting bagi pengambilan keputusan di berbagai sektor. Jika data yang ada mengandung ketidakakuratan, dampaknya akan terasa tidak hanya pada pemerintah, tetapi juga pada masyarakat luas dan pelaku usaha. Ada potensi penundaan dalam stimulus ekonomi yang dapat merugikan masyarakat yang membutuhkan bantuan.
Bhima mengklaim telah memeriksa berbagai indikator yang disertakan dalam laporan BPS. Namun, saat menelaah lebih dalam, banyak ketidaksesuaian yang ditemukan, termasuk klaim tentang pertumbuhan industri manufaktur yang tidak didukung oleh data PMI yang valid.
Dengan kontraksi yang tercatat dalam PMI, klaim BPS mengenai pertumbuhan industri menjadi meragukan. Porsi sektor manufaktur terhadap PDB juga menunjukkan angka yang rendah, menggambarkan adanya deindustrialisasi yang terus berlangsung di Indonesia.
Diskusi tentang Anomali dalam Laporan BPS
Diskusi mengenai pertumbuhan kuartal II 2025 menunjukkan beberapa kejanggalan, terutama jika dibandingkan dengan angka pertumbuhan pada kuartal sebelumnya. Ada kelemahan dalam argumentasi yang diajukan BPS, mengingat kuartal pertama memiliki faktor musiman seperti Ramadan dan Idulfitri yang biasanya dapat meningkatkan kinerja ekonomi.
Direktur Ekonomi CELIOS, Nailul Huda, menambahkan bahwa pertumbuhan ini aneh karena lebih tinggi dibandingkan kuartal sebelumnya. Keadaan ini menimbulkan banyak pertanyaan tentang validitas data yang ada, terutama karena pertumbuhan yang biasanya lebih besar pada momen puasa dan lebaran.
Pendapat dari berbagai pihak menunjukkan bahwa ada tekanan institusional dalam penyusunan data oleh BPS. Oleh karena itu, mereka mendorong untuk mengambil langkah-langkah reformasi yang diperlukan agar data statistik dapat dipertanggungjawabkan.
Implikasi Data yang Salah bagi Kebijakan Ekonomi Negara
Salah satu aspek paling kritis dari data ekonomi adalah bagaimana hal itu memengaruhi kebijakan pemerintah. Jika data tidak akurat, maka keputusan yang diambil, seperti stimulus, subsidi, atau program perlindungan sosial, dapat meleset dari target yang diinginkan. Media Wahyu Askar dari CELIOS mengingatkan bahwa dampak dari data yang salah tidak hanya terbatas pada angka-angka statistik.
Selain itu, dampak negatif juga dirasakan oleh masyarakat dan pelaku usaha yang memerlukan informasi yang benar untuk membuat keputusan. Ketidaktahuan dapat menimbulkan kebingungan di antara investor, perusahaan besar, dan UMKM, yang sangat bergantung pada data untuk merencanakan masa depan bisnis mereka.
Media mencatat pentingnya pembentukan mekanisme peer-review yang melibatkan para ahli independen untuk menjamin integritas data yang dirilis oleh BPS. Transisi menuju standar SDDS Plus juga dianggap perlu agar data pertumbuhan ekonomi dapat dipertanggungjawabkan secara internasional.