Selama bertahun-tahun menjalin hubungan diplomatik, Indonesia dan Amerika Serikat telah mengalami berbagai dinamika. Dalam proses tersebut, ada momen ketika Duta Besar AS untuk Indonesia, Marshall Green, terlibat dalam situasi yang penuh tantangan dengan Presiden Soekarno.
Green yang ditugaskan oleh Presiden Lyndon Johnson mulai menjabat pada tahun 1965 menghadapi ketegangan yang kental antara kedua negara. Soekarno, presiden saat itu, tidak pernah menyukai kehadiran Green yang dianggap membawa pengaruh buruk bagi politik Indonesia.
Ketidakpuasan Soekarno terhadap Green bermula dari reputasi Duta Besar tersebut. Dikenal sebagai sosok yang penting dalam penggulingan pemimpin di beberapa negara, kebijakan luar negeri AS di bawah Green dianggap tidak sesuai dengan kebutuhan Indonesia.
Reputasi Marshall Green sebagai diplomat menimbulkan ketidakpercayaan. Soekarno, dalam banyak kesempatan, mengungkapkan kekecewaannya, yang pada akhirnya menciptakan suasana diplomatik yang campur aduk dan penuh ketegangan.
Ketegangan antara Soekarno dan Marshall Green dalam Diplomasi
Kehadiran Marshal Green di Indonesia dipenuhi dengan nuansa yang kurang bersahabat. Dalam autobiografinya, Soekarno mengisahkan bagaimana kehadiran AS sering kali dianggap sebagai intervensi yang merugikan. Ia merasakan adanya permainan di balik bantuan asing yang diberikan oleh negara adidaya tersebut.
Selama acara penyerahan surat kepercayaan, Soekarno secara langsung mengecam kebijakan politik AS di hadapan Green. Ini adalah momen yang menggugah, di mana Green terlihat sangat tidak nyaman dan hampir meninggalkan acara tersebut.
Anggota Tjakrabirawa, Maulwi Saelan, mengungkapkan betapa tersebarnya kebencian Soekarno terhadap AS saat itu. Green pun terpaksa menahan diri, berusaha agar tidak tampak kalah di hadapan presiden Indonesia yang penuh wibawa.
Kejadian Memalukan di Universitas Indonesia
Namun, kejadian paling mengesankan terjadi pada bulan September 1965 saat Green diundang ke peletakan batu pertama Universitas Indonesia. Dalam suasana ceremonial, Soekarno mengundang Green untuk merasakan buah durian, sebuah momen yang penuh lelucon namun memiliki makna dalam.
Saat Soekarno menawarkan durian kepada Green, situasi tersebut berubah menjadi tidak nyaman. Durian, yang dikenal dengan baunya yang menyengat, merupakan buah yang sangat kontroversial dan sering kali menjadi perdebatan di kalangan masyarakat internasional.
Dengan tekanan dari paduan suara yang disuruh Soekarno untuk mendorongnya makan, Green terpaksa menyetujui. Hal ini menggambarkan kekuatan diplomasi dan respons publik yang menegangkan, sementara Green berusaha menjaga wibawa di hadapan orang-orang yang tidak dapat menahan tawa.
Perasaan Takut dan Mitos Nyi Roro Kidul
Menariknya, ketidaknyamanan Green tidak berhenti pada momen di Universitas Indonesia. Ia juga merasakan ketakutan yang mendalam saat diundang Soekarno ke Pelabuhan Ratu, sebuah tempat yang lekat dengan mitos-mitos dan legenda, terutama mengenai Nyi Roro Kidul, penguasa laut selatan.
Kisah tentang pejabat tinggi dari kedutaan Bulgaria yang tewas di Pantai Pelabuhan Ratu memperkuat ketakutan Green. Ia mulai percaya bahwa namanya, yang berarti “hijau”, bisa saja menarik perhatian Nyi Roro Kidul, yang terkenal dengan keterikatan pada warna tersebut.
Kekhawatiran yang melanda Green mencerminkan bagaimana mitos lokal bisa memengaruhi para diplomat asing. Hal ini menciptakan ketidaknyamanan luar biasa di saat Green harus tetap berperan sebagai wakil resmi dari negara adidaya.
Pandangan Terhadap Perubahan Politik di Indonesia
Marshall Green bertugas sebagai Duta Besar di Indonesia hingga tahun 1969, menyaksikan transisi kekuasaan yang dramatis. Kejatuhan Soekarno dan kebangkitan Soeharto menjadi momen penting dalam sejarah politik Indonesia, dan Green berada di tengah-tengah perubahan tersebut.
Dalam kurun waktu itu, Green menjadi saksi berbagai peristiwa yang membentuk arah baru bagi bangsa Indonesia. Dengan posisinya yang strategis, setiap langkah diplomatik yang diambilnya menjadi bagian dari sejarah dan dinamika politik yang lebih besar.
Reputasi Green sebagai diplomat yang selalu berada dalam situasi kritis terus berlanjut. Tercatat, di setiap negara tempatnya bertugas, seringkali membawa dampak yang signifikan terhadap perubahan pemimpin dan kebijakan.