Negara bagian Terengganu di Malaysia kini menerapkan peraturan baru yang mengharuskan pria Muslim untuk melaksanakan shalat Jumat dengan sanksi yang cukup berat. Jika mengabaikan kewajiban ini tanpa alasan yang sah, mereka bisa menghadapi hukuman penjara hingga dua tahun dan denda hingga 3.000 ringgit, atau kombinasi keduanya.
Aturan yang dikeluarkan oleh Partai Islam Se-Malaysia (PAS) ini mulai berlaku pekan ini, dan dilatarbelakangi oleh pemahaman syariah yang mendalam. Sebelumnya, hukuman bagi mereka yang tidak melaksanakan shalat Jumat hanya enam bulan penjara atau denda maksimal 1.000 ringgit, yang menunjukkan kekuatan regulasi ini meningkat pesat.
Di bawah kebijakan baru ini, masjid di seluruh Terengganu akan memasang papan pengumuman untuk mengedukasi umat Muslim tentang kewajiban mereka. Penegakan hukum ditugaskan kepada aparat keagamaan dan masyarakat untuk melaporkan setiap pelanggaran yang terjadi.
Implikasi Sosial dari Peraturan Shalat Jumat di Terengganu
Penerapan peraturan ini tentunya menciptakan reaksi beragam di masyarakat. Beberapa mendukungnya sebagai langkah untuk memperkuat disiplin agama, sementara yang lain merasa hal ini mencederai kebebasan beragama. Agensi-agensi hak asasi manusia mulai bersuara menentang aturan yang dinilai terlalu keras dan represif.
Pihak berwenang mengklaim bahwa aturan ini berdasarkan pada prinsip syariah yang menekankan pentingnya shalat Jumat dalam kehidupan seorang Muslim. Namun, banyak yang berpendapat bahwa kewajiban agama seharusnya menjadi pilihan, bukan paksaan yang mendatangkan sanksi.
Aktivis hak asasi manusia memperingatkan bahwa undang-undang ini dapat disalahgunakan oleh pihak tertentu, menargetkan individu yang tidak patuh terhadap norma-norma sosial. Hal ini dapat menciptakan iklim ketakutan dalam masyarakat, di mana setiap orang merasa diawasi oleh tetangga atau aparatur hukum.
Kritikan dari Aktivis dan Pemimpin Komunitas
Kritik utama datang dari berbagai aktivis HAM, yang menyatakan bahwa hukum tersebut berpotensi melanggar hak individual. Phil Robertson, seorang direktur dari lembaga hak asasi manusia, menilai bahwa kebebasan beragama juga harus mencakup kebebasan untuk tidak berpartisipasi dalam ritual tertentu.
Robertson meminta Perdana Menteri Anwar Ibrahim untuk mempertimbangkan kembali kebijakan ini, mengatakan bahwa aturan tersebut tidak mencerminkan nilai-nilai hak asasi manusia yang seharusnya dipegang oleh negara. Jadi, suara rakyat harus didengar dan dihormati dalam pembuatan hukum semacam ini.
Politisi lokal berpendapat bahwa penjara adalah upaya terakhir, dan jika pelanggaran terjadi, harus ada pendekatan yang lebih lembut terlebih dahulu. Ini menciptakan ketidakpastian bagi banyak orang, di mana mereka tidak yakin apa yang bisa terjadi jika mereka memilih untuk tidak menghadiri shalat Jumat.
Respon Masyarakat Terhadap Kebijakan Baru Ini
Respon masyarakat terhadap peraturan baru ini bervariasi, dengan banyak yang menyatakan ketidaksetujuan mereka di media sosial. Beberapa warga menganggap bahwa penegakan hukum yang keras tidak akan mengubah keyakinan seseorang, dan bisa berbalik menjadi negatif bagi institusi agama itu sendiri.
Bagi sebagian lainnya, kebijakan ini dianggap sebagai bentuk pengawasan yang diperlukan untuk menjaga nilai-nilai Islam dalam masyarakat. Mereka percaya bahwa dengan adanya sanksi, disiplin keagamaan akan semakin meningkat dan masyarakat akan lebih taat kepada ajaran agama.
Namun, ketegangan dapat terjadi di tengah masyarakat, di mana individu mungkin merasa tertekan untuk menunjukkan ketaatan meskipun mereka tidak sepenuhnya setuju dengan kebijakan tersebut. Persoalan ini menjadi tantangan bagi pemimpin dalam menciptakan toleransi dan pemahaman antar umat beragama.
Mengarahkan Dialog dan Kebijakan yang Lebih Inklusif
Ke depannya, sangat penting bagi pemimpin lokal untuk membuka ruang dialog mengenai aturan ini. Ini merupakan kesempatan bagi pihak berwenang untuk mendengarkan suara masyarakat dan mempertimbangkan perubahan hukum yang lebih inklusif.
Dialog yang konstruktif akan membangun pemahaman yang lebih baik tentang perbedaan perspektif antara norma agama dan hak asasi manusia. Ini dapat menggugah kesadaran bahwa kebijakan yang ketat tidak selalu berujung pada keberhasilan dalam meningkatkan ketaatan beragama.
Dalam mencapai keseimbangan antara syariah dan hak-hak individu, sangat penting untuk menegakkan kebijakan yang memungkinkan semua elemen masyarakat merasa dihormati dan tidak terdiskriminasi. Sebuah pendekatan yang lebih fleksibel mungkin diperlukan untuk menghasilkan harmoni dalam praktik ibadah.