Awalnya, kehidupan masyarakat Jakarta pada Sabtu, 22 Januari 1780, berjalan seperti biasa. Tanpa ada tanda-tanda mencolok, mereka menjalani akhir pekan dengan aktivitas masing-masing yang tampak biasa saja.
Namun, situasi itu mendadak berubah ketika pukul 14.39 waktu setempat, terdengar suara gemuruh yang mengguncang ketenangan. Suara tersebut mengundang keheranan warga, yang kemudian bertanya-tanya dari mana asalnya.
Mereka sempat mengira suara gemuruh itu berasal dari sebuah gerobak berat yang lewat, namun setelah menunggu, tidak ada satu pun gerobak yang terlihat. Tiba-tiba, tanah di bawah mereka bergetar hebat, menandakan adanya bencana yang tidak terduga.
Ahli geologi, Arthur Wichmann, dalam catatannya berjudul Die Erdbeben des Indischen Archipels bis zum Jahre 1857, menjelaskan bagaimana guncangan itu terjadi. “Pada saat itu, ada guncangan bergelombang dengan arah Timur-Barat,” ujarnya.
Bangunan-bangunan pun bergoyang, dan panik melanda seluruh masyarakat. Mereka berlarian mencari perlindungan, sementara getaran dilaporkan mereda pada pukul 14.42. Namun, bencana tak berhenti di situ, karena beberapa menit setelahnya, Gunung Salak di Buitenzorg mengeluarkan suara dentuman keras.
Akhirnya, laporan koran menyebutkan bahwa dalam waktu tiga menit, 27 bangunan di Jakarta runtuh, mengakibatkan banyaknya korban jiwa. Bahkan seorang bayi dilaporkan tertimpa reruntuhan, meskipun ia berhasil selamat.
Di luar Jakarta, kerusakan yang ditimbulkan jauh lebih parah. Banyak rumah yang hancur, membuat penghuninya terpaksa mengungsi karena kehilangan tempat tinggal dan harta benda. “Rumah-rumah tersebut hancur total,” tambah laporan koran saat itu.
Kondisi Jakarta pada Akhir Abad ke-18
Pada masa itu, Jakarta belum seperti sekarang yang dipenuhi dengan gedung-gedung tinggi. Kota ini didominasi oleh bangunan-bangunan kayu dengan fondasi yang relatif sederhana.
Walaupun demikian, Jakarta (dulu dikenal sebagai Batavia) sudah menjadi pusat kekuasaan dan perdagangan. Kekuasaan yang dimiliki VOC membuat kota ini tumbuh pesat, meskipun bangunannya rentan terhadap bencana.
Beberapa hari setelah kejadian, baru terungkap bahwa gempa tersebut tidak hanya mengguncang Jakarta. Catatan Wichmann mencatat bahwa getaran terasa di hampir seluruh Jawa, dengan dampak terkuat di Banten, Bogor, dan Cirebon.
Sejarah mencatat bahwa getaran gempa bahkan dirasakan sampai ke kapal dagang Belanda yang berlayar di Selat Sunda. Akibatnya, istana gubernur di Bogor juga dilaporkan rusak parah karena guncangan tersebut.
Sejarah yang Tersisa dan Catatan Korban Jiwa
Meski bersifat mendalam, informasi mengenai jumlah korban jiwa dan kerusakan bangunan pada saat itu sangat minim. Hal ini disebabkan oleh kurangnya catatan sejarah yang dapat diandalkan mengenai kejadian tersebut.
Hanya ratusan tahun setelahnya, berbagai penelitian mulai menyimpulkan skenario gempa yang terjadi pada 22 Januari 1780. Penelitian kolaboratif antara beberapa universitas dan lembaga menyebutkan bahwa gempa ini berkaitan erat dengan Sesar Baribis.
Dari penelitian tersebut, para ahli berpendapat bahwa gempa itu kemungkinan terjadi antara magnitudo 7 hingga 8, yang dihasilkan dari aktivitas Sesar Baribis dan patahan lokal. Intensitas maksimalnya diperkirakan mencapai skala 8 MMI.
Skala 8 MMI sendiri menunjukkan dampak yang signifikan, meski masih dianggap ringan untuk bangunan yang kokoh. Hasil kajian menyebutkan empat daerah mengalami guncangan dengan tingkat intensitas yang berbeda.
Pentingnya Penelitian dan Kewaspadaan akan Bencana
Dari data yang ada, diperkirakan sekitar 34 ribu jiwa tewas akibat gempa tersebut, menjadikannya sebagai salah satu bencana terparah di Jawa. Segera setelah peristiwa itu, banyak gempa susulan yang terjadi di daerah Jakarta dan sekitarnya.
Terlebih lagi, sejarah mencatat bencana serupa terjadi kembali pada tahun 1834, menegaskan bahwa Jakarta sangat rentan terhadap gempa bumi. Ini menjadi alasan penting untuk terus mempelajari sejarah gempa di wilayah tersebut.
Kajian yang dilakukan oleh berbagai lembaga berfungsi untuk meningkatkan kewaspadaan masyarakat mengenai potensi bencana yang mungkin terjadi di masa depan. Penelitian tentang sejarah gempa ini diharapkan dapat membantu pemerintah dalam mengembangkan kebijakan mitigasi bencana.
Dari catatan bahwa pada Rabu, 20 Agustus 2025, gempa dengan magnitudo 4,9 terjadi di Bekasi, dan bukan tidak mungkin, proses pembelajaran dari tragedi sejarah akan membantu kita lebih siap menghadapi bencana. Oleh sebab itu, kesadaran akan pentingnya mitigasi bencana menjadi sangat krusial.