Kebebasan berpendapat dalam bentuk unjuk rasa kadang menimbulkan pro dan kontra, bahkan dapat menyakiti perasaan pihak tertentu. Sebagai contoh, presiden pertama Indonesia, Soekarno, pernah merasakan kesedihan ketika melihat menterinya dihina dalam aksi demonstrasi oleh mahasiswa di Jakarta.
Peristiwa tersebut terjadi pada tahun 1966, saat mahasiswa melakukan protes besar-besaran untuk menuntut perubahan drastis akibat kondisi negara yang semakin memprihatinkan. Situasi ini dipicu oleh inflasi yang tidak terkendali dan instabilitas politik pasca-peristiwa Gerakan 30 September 1965.
Soe Hok Gie, seorang aktivis pada masa itu, mencatat bahwa harga bahan pangan melambung tinggi, bahkan lonjakan harga bensin menjadi perhatian serius. Kenaikan harga tersebut membuat masyarakat semakin tertekan, dan kondisi ekonomi semakin memburuk. Ketidakpuasan ini akhirnya mendorong mahasiswa untuk turun ke jalan.
Revolusi Sosial yang Memicu Kemarahan Mahasiswa
Mahasiswa mulai mengorganisir aksi demonstrasi, menuntut agar pemerintah mengambil langkah tegas untuk mengatasi inflasi. Tritura, atau Tri Tuntutan Rakyat, menjadi semboyan mereka, yang mencakup pembubaran Partai Komunis Indonesia, perombakan Kabinet Dwikora, serta penurunan harga barang pokok.
Dalam aksi tersebut, mahasiswa menyampaikan protes dengan cara yang sangat emosional. Mereka membuat poster dengan tulisan kasark dan berteriak yel-yel provokatif yang mengecam para menteri. Sikap ini mencerminkan frustrasi mendalam mereka terhadap kebijakan pemerintah yang dianggap tidak efekif.
Soe Hok Gie dalam catatan hariannya mencatat kegundahan dan kemarahan yang dirasakan mahasiswa saat itu. Dengan menggunakan kata-kata kasar, mereka merasa dapat mengekspresikan ketidakpuasan atas pemerintahan yang dinilai lamban bertindak. Perasaan keterasingan dari lokasi kekuasaan menjadikan mahasiswa semakin militan.
Respon Soekarno terhadap Aksi Demonstrasi
Reaksi Soekarno terhadap aksi tersebut terlihat pada sidang kabinet di Istana Bogor pada tanggal 15 Januari 1966. Ia menyatakan kesedihannya atas kata-kata kasar yang ditujukan kepada menterinya, dengan menganggap bahwa ini menjadi simbol ketidakpatuhan generasi muda terhadap yang lebih tua.
Soekarno meminta kepada mahasiswa untuk bersabar dan tidak melibatkan kata-kata hina, karena menurutnya, kritik dapat disampaikan dengan cara yang lebih terhormat. Ia merasa sakit hati mendengar ungkapan “menteri goblok”, yang dinilai lebih buruk daripada sekadar “bodoh”.
Pernyataan ini mencerminkan keengganan Soekarno untuk menerima kritik secara langsung dan menunjukkan sikap defensif terhadap keadaan yang ada. Dengan demikian, kemarahan mahasiswa tidak mereda, malah menjadi semakin membara.
Puncak Ketegangan dan Reaksi Pemerintah
Puncak ketegangan terjadi pada bulan Februari 1966, saat Soekarno merombak kabinetnya. Namun, keputusan tersebut tetap tidak memenuhi harapan mahasiswa, karena masih melibatkan unsur yang dekat dengan Partai Komunis Indonesia. Ini membuat gerakan demonstrasi berskala besar kembali berguguran.
Demonstrasi ini tidak lagi hanya diikuti mahasiswa, tetapi meluas melibatkan berbagai elemen masyarakat yang sama-sama merasa tertekan oleh kondisi yang ada. Suasana semakin tidak terkendali dan semakin meruncing menjelang keluarnya Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar).
Supersemar menjadi titik balik dalam sejarah Indonesia, di mana Soekarno kehilangan sebagian besar kekuasaannya dan Jenderal Soeharto mulai mengambil alih kendali pemerintahan. Surat tersebut memberi mandat kepada Soeharto untuk menjaga keamanan dan ketertiban negara, menandai perubahan drastis dalam iklim politik di Indonesia.
Refleksi dari Sejarah dan Pelajaran untuk Masa Kini
Kisah tentang Soekarno dan demonstrasi mahasiswa di tahun 1966 menunjukkan betapa pentingnya komunikasi dan ruang dialog antara pemerintah dan masyarakat. Keterbukaan untuk menerima kritik dan masukan adalah hal yang esensial untuk menjaga stabilitas politik dan sosial.
Selain itu, peristiwa ini menyoroti pentingnya kesadaran kolektif dalam menyampaikan aspirasi. Demonstrasi adalah cara untuk menyuarakan ketidakpuasan, tetapi haruslah dilakukan dengan cara yang tidak merugikan pihak lain. Oleh karena itu, perlu bijaksana dalam berpendapat agar dapat mendorong perubahan positif.
Sejarah tidak hanya mencerminkan masa lalu, tetapi juga menawarkan pelajaran berharga untuk membentuk masa depan yang lebih baik. Dengan memahami konteks dan dinamika yang terjadi, kita dapat mengambil langkah yang lebih bijak dalam menanggapi berbagai permasalahan yang ada di masyarakat.