Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) baru-baru ini mengungkapkan potensi terjadinya banjir pesisir atau rob yang mungkin akan melanda lima wilayah di Pulau Bali. Peristiwa ini direncanakan terjadi antara tanggal 7 hingga 11 Oktober 2025 dan dapat berdampak signifikan terhadap masyarakat yang tinggal di sekitar pesisir.
Kepala Balai Besar Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BBMKG) Wilayah III Denpasar, Cahyo Nugroho, menjelaskan bahwa fenomena alam seperti fase Perigee yang terjadi pada 7 Oktober dan bulan baru yang bersamaan dengan periode tersebut akan meningkatkan tinggi permukaan air laut. Hal ini menjadi tanda peringatan bagi daerah-daerah pesisir yang rentan.
Dengan demikian, penting bagi masyarakat untuk memahami dan mempersiapkan diri menghadapi kemungkinan ini, terutama para nelayan dan pelaku usaha yang bergantung pada aktivitas di laut. Mengingat potensi dampaknya yang luas, perhatian ekstra diperlukan untuk menjaga keselamatan dan keamanan berbagai aktivitas di pesisir.
Pentingnya Memantau Kondisi Cuaca dan Pasang Surut
Berdasarkan pantauan BMKG, data dan prediksi terkait pasang surut menunjukkan adanya ancaman banjir pesisir di beberapa titik di Bali. Seperti yang disampaikan oleh Cahyo, waktu dan dampak dari fenomena ini bervariasi tergantung lokasi, sehingga masyarakat perlu siaga untuk meminimalkan risiko yang mungkin terjadi.
Aktivitas harian seperti bongkar muat di pelabuhan, kegiatan di pemukiman pesisir, serta pengelolaan tambak garam dan perikanan darat akan terpengaruh oleh kondisi ini. Oleh karena itu, informasi terkini dari BMKG sangat penting untuk diikuti oleh semua pihak.
Seiring dengan perubahan iklim yang semakin nyata, pemerhatian yang cermat terhadap pola cuaca menjadi lebih penting dari sebelumnya. Pengetahuan tentang kondisi cuaca dan ramalan pasang surut dapat membantu masyarakat untuk lebih siap dan tanggap dalam menghadapi bencana alam.
Wilayah Pesisir Bali yang Terancam
Lima wilayah pesisir di Bali yang berpotensi terdampak banjir rob adalah Pesisir Gianyar, Pesisir Kuta, Pesisir Tabanan, Pesisir Klungkung, dan Pesisir Karangasem. Setiap wilayah ini memiliki karakteristik geografis yang berbeda, yang dapat mempengaruhi seberapa besar dampak yang dirasakan masyarakat setempat.
Misalnya, Pesisir Kuta yang terkenal dengan pariwisatanya memiliki banyak kegiatan yang berhubungan dengan laut, sehingga kondisi pasang maksimum air laut dapat mengganggu operasional bisnis lokal. Sementara itu, Pesisir Klungkung yang lebih tradisional mungkin menghadapi tantangan tersendiri di sektor pertanian dan perikanan.
Penting untuk dicatat bahwa dampak dari banjir rob tidak hanya bersifat dalam waktu singkat tetapi dapat memberikan efek jangka panjang terhadap ekosistem serta ekonomi lokal. Oleh karena itu, masyarakat diharapkan dapat melakukan adaptasi yang diperlukan.
Peran Masyarakat dalam Menghadapi Banjir Pesisir
Masyarakat perlu berperan aktif dalam proses mitigasi risiko. Ini termasuk meningkatkan kesadaran mengenai tanda-tanda awal dari banjir dan memahami langkah-langkah apa yang harus diambil. Informasi dari BMKG harus dijadikan acuan untuk mempersiapkan segala kemungkinan.
Selain itu, pendidikan dan sosialisasi mengenai perubahan iklim dan dampaknya juga harus diperkuat. Dengan cara ini, masyarakat tidak hanya siap menghadapi banjir pesisir tetapi juga dapat berkontribusi dalam upaya menjaga lingkungan dan mitigasi bencana.
Pada akhirnya, kolaborasi antara pemerintah, lembaga terkait, dan masyarakat menjadi sangat penting dalam menciptakan lingkungan yang aman. Penanganan masalah ini bukanlah tugas individu saja, melainkan tanggung jawab kolektif.














