Baru-baru ini, Ibu Kota China, Beijing, mengalami bencana alam yang sangat parah. Hujan ekstrem yang melanda dalam waktu singkat menyebabkan banjir besar, mengakibatkan kerusakan luas serta dampak tragis yang merenggut nyawa banyak orang.
Setidaknya 30 orang dilaporkan meninggal dunia akibat bencana ini, dan lebih dari 80.000 orang terpaksa mengungsi dari rumah mereka. Infrastruktur kota seperti jalan dan jaringan listrik menjadi korban, serta banyak desa yang terisolasi dari akses komunikasi.
Cuaca ekstrem ini melanda Jakarta pada periode yang singkat saja, dengan curah hujan setara dengan rata-rata curah tahunan dalam setahun. Badai yang terjadi pada tanggal 28 Juli menyebabkan ratusan penerbangan dan layanan kereta api menjadi terhambat, menambah kesulitan bagi penduduk setempat.
Situasi Banjir di Beijing yang Mengkhawatirkan Warga
Menurut laporan berita, hujan yang sangat lebat ini terutama berdampak di daerah pegunungan utara Beijing, dekat Tembok Besar. Distrik Miyun dan Yanqing menjadi dua area yang paling parah terdampak, di mana angka kematian tertinggi dilaporkan.
Hujan lebat dimulai pada 23 Juli dan memuncak pada akhir minggu tersebut. Dalam waktu kurang dari 24 jam, wilayah pegunungan mengumpulkan curah hujan yang sangat tinggi, mencapai angka 573,5 mm di Miyun.
Untuk memberikan konteks, curah hujan tahunan biasa di kawasan ini hanya sekitar 600 mm. Oleh karena itu, curah hujan yang berlangsung dalam waktu singkat ini dinilai sangat merusak.
Jumlah curah hujan yang sangat tinggi dalam waktu singkat ini ternyata menyentuh angka 80 hingga 90 persen dari total tahunan di sejumlah daerah. Hal ini menunjukkan betapa besar dan mematikan dampak perubahan iklim yang terjadi saat ini.
Penyebab Hujan Ekstrem: Pemanasan Global dan Topografi
Para ahli mengungkapkan bahwa pemanasan global menjadi salah satu faktor utama penyebab hujan ekstrem yang melanda Beijing. Peningkatan suhu bumi menyebabkan pola cuaca yang tidak terduga dan seringkali ekstrim.
Topografi wilayah juga memiliki peran penting dalam memperparah situasi ini. Pegunungan yang mengelilingi Beijing dapat “menjebak” udara lembab dan memaksanya naik ke atas, yang akhirnya memicu hujan deras.
Menurut seorang ahli dari University of Victoria, sangat sedikit sistem drainase yang dirancang untuk menanggulangi curah hujan dalam jumlah besar dalam waktu cepat. Ini menjadi tantangan besar di kawasan yang sudah terbiasa dengan cuaca yang lebih kering.
Dalam beberapa tahun terakhir, wilayah utara China yang biasanya kering mengalami peningkatan frekuensi dan intensitas hujan, memperlihatkan tren yang mengkhawatirkan. Hal ini menjadi pertanda adanya perubahan besar-besaran di sistem iklim global.
Dampak Sosial dan Ekonomi dari Banjir di Beijing
Banjir di Beijing tidak hanya menyebabkan kerusakan fisik, tetapi juga berpengaruh besar terhadap kehidupan ekonomi masyarakat. Biaya perbaikan infrastruktur yang rusak pasti akan menjadi beban berat bagi pemerintahan kota.
Masyarakat yang kehilangan tempat tinggal dan pekerjaan akibat banjir diharapkan mendapatkan perhatian dari pemerintah. Pengungsi yang kehilangan segalanya tentu membutuhkan dukungan yang kuat untuk membangun kembali kehidupan mereka.
Sementara itu, banyak bisnis kecil yang terpaksa tutup dan tidak dapat beroperasi akibat kerusakan. Ini berpotensi menambah angka pengangguran dan menurunkan kualitas hidup seiring dengan meningkatnya kebutuhan mereka.
Dampak jangka panjang dari bencana ini juga belum sepenuhnya dapat diprediksi. Masyarakat harus siap menghadapi kemungkinan lebih banyak bencana di masa yang akan datang sebagai akibat dari perubahan iklim yang semakin tidak terduga.