Seorang profesor terkemuka mengeluarkan kritik pedas terhadap respons para negara Muslim terhadap krisis yang terjadi di Gaza dan Afghanistan. Menurutnya, Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) yang merupakan perhimpunan dari 57 negara mayoritas Muslim ini lebih banyak berbicara daripada bertindak dalam menghadapi masalah ini.
Profesor Emeritus Studi Timur Tengah dan Asia Tengah dari Universitas Nasional Australia, Amin Saikal, menekankan bahwa keberadaan OKI seharusnya menghadirkan solusi nyata, namun kenyataannya berbeda. Dalam tulisannya, Saikal mengungkapkan rasa frustrasinya terhadap kurangnya tindakan koheren dari negara-negara Muslim dalam mengatasi situasi yang sangat mendesak ini.
“Kehancuran Gaza dan dominasi kekuasaan Taliban di Afghanistan menjadi dua isu krusial yang membutuhkan perhatian serius,” jelas Saikal. Ia menambahkan bahwa dalam kedua kasus tersebut, respons yang diberikan sangat tidak memadai.
Menurut Saikal, OKI seakan tidak mampu memanfaatkan potensi yang ada untuk memberikan bantuan yang diperlukan atau menjalin kerjasama dalam mengatasi permasalahan tersebut. OKI lebih sering disibukkan dengan pernyataan dan seruan yang tidak diiringi dengan tindakan nyata di lapangan.
Salah satu indikasi lemahnya respon OKI adalah ketidakmampuannya untuk mempengaruhi negara-negara tetangga Israel, seperti Mesir dan Yordania, agar membuka perbatasan untuk bantuan kemanusiaan ke Gaza. Dengan posisi strategis yang dimiliki, seharusnya negara-negara tersebut bisa mendukung misi kemanusiaan yang mendesak.
Tidak hanya itu, Saikal juga menyoroti ketidakmampuan OKI dalam mendorong negara-negara seperti Mesir, Yordania, dan Uni Emirat Arab untuk menghentikan hubungan diplomatik dengan Israel. Ini penting untuk mendorong adanya solusi dua negara yang adil bagi Palestina dan Israel.
Lebih jauh lagi, seruan Perdana Menteri Malaysia, Anwar Ibrahim, untuk menangguhkan Israel dari Organisasi PBB juga tampaknya tidak mendapatkan respon yang diharapkan dari OKI. Saikal mencatat bahwa situasi ini menunjukkan kegagalan kolektif dalam mengadvokasi hak-hak Palestina di forum internasional.
Dalam konteks Afghanistan, OKI juga tidak mampu memberi tekanan kepada pemerintahan Taliban yang dikenal sangat otoriter. Salah satu isu hangat adalah larangan pendidikan bagi anak perempuan yang digariskan oleh Taliban, yang sampai saat ini belum ada langkah efektif untuk mengubah kebijakan tersebut.
Desakan dari Sekretaris Jenderal OKI, Hissein Brahim Taha, untuk menyatukan ulama dan otoritas agama demi melawan keputusan Taliban tersebut tidak membuahkan hasil yang diharapkan. Dalam waktu singkat, sikap OKI justru berubah, menarik diri dari campur tangan dalam urusan Afghanistan.
Tantangan yang Dihadapi OKI dalam Krisis Global
Terhadap ketidakcukupan respons OKI, Saikal menunjukkan bahwa ada beberapa alasan yang mendasarinya. Salah satu masalah utama adalah bahwa negara-negara anggota OKI belum mampu berfungsi sebagai jembatan untuk menyusun strategi yang kohesif dalam menanggapi tantangan geopolitik, khususnya dalam konteks ketegangan antara kelompok sektarian.
Di dalam OKI, tidak ada kesepakatan untuk bertindak dalam kesatuan, malah sering kali terjadi persaingan dan ketidakpastian antar negara anggota. Hal ini membuat inisiatif untuk menjunjung kepentingan umat Islam menjadi sangat lemah dan tidak terarah.
Salikal menekankan bahwa saatnya reformasi dalam struktur dan fungsi OKI perlu dipertimbangkan. Organisasi ini seharusnya bisa menjadi alat untuk menyatukan suara umat Muslim dan memperkuat posisi mereka di kancah internasional.
Tindak lanjut yang lebih nyata dari deklarasi dan retorika diperlukan untuk melawat isu-isu mendesak. Tanpa langkah konkrit, situasi di Gaza dan Afghanistan akan terus berlarut-larut, menambah kesengsaraan umat Islam di berbagai belahan dunia.
Apa yang terjadi selanjutnya tentu menjadi perhatian penting tidak hanya bagi negara-negara Muslim, tetapi juga bagi komunitas internasional yang memiliki tanggung jawab untuk menjaga perdamaian dan stabilitas global. Melihat kondisi saat ini, OKI perlu berbenah agar bisa lebih efektif dan relevan dalam menghadapi tantangan-tantangan yang ada.
Langkah-Langkah yang Harus Diambil oleh OKI
Terdapat beberapa langkah strategis yang dapat diambil oleh OKI untuk meningkatkan efektivitasnya dalam merespons krisis yang berkepanjangan. Pertama-tama, adanya kerjasama yang lebih kuat antara negara-negara anggota untuk merumuskan kebijakan bersama dalam penanganan isu-isu mendesak seperti Palestina dan Afghanistan sangat diperlukan.
Selanjutnya, OKI harus dapat menggunakan pengaruh dan sumber daya yang dimiliki oleh negara-negara kaya untuk mendukung inisiatif perdamaian yang inklusif. Ini juga termasuk mendorong negara-negara yang memiliki kekuatan politik untuk lebih aktif dalam membela hak-hak umat Islam di level internasional.
Satu lagi langkah penting adalah meningkatkan peran diplomasi dalam menjalin komunikasi dengan negara-negara non-Muslim. Okupasi dan penindasan terhadap rakyat Palestina, serta kebijakan diskriminatif di Afghanistan harus diangkat sebagai isu global yang membutuhkan perhatian bersama.
Dalam hal ini, OKI juga perlu memperkuat basis yang lebih representatif dari semua negara anggota, termasuk melibatkan organisasi non-pemerintah dan kelompok masyarakat sipil. Dengan cara ini, suara rakyat dapat lebih terdengar, dan tindakan yang diambil akan lebih sesuai dengan kebutuhan yang ada di lapangan.
Terakhir, penting bagi OKI untuk terus melakukan evaluasi dan introspeksi. Dengan mendengarkan kritik dari akademisi dan praktisi, OKI bisa merumuskan langkah-langkah perbaikan yang konkret sehingga dapat memenuhi harapan umat Muslim seluruh dunia.