Narasi sejarah yang selama ini berkembang menyatakan bahwa bangsa Indonesia dijajah oleh Belanda selama 3,5 abad. Klaim ini telah meresap ke dalam memori masyarakat, menciptakan persepsi bahwa penjajahan selama itu benar adanya.
Kementerian Kebudayaan kini sedang meninjau kembali narasi tersebut. Menteri Kebudayaan menyatakan pentingnya revisi agar fakta sejarah dapat dipahami secara utuh dan akurat.
Dalam pernyataannya, dia menegaskan, “Tidak ada 350 tahun Indonesia dijajah.” Hal ini menunjukkan adanya kebutuhan untuk menggali lebih dalam konteks sejarah yang sesungguhnya.
Meragukan Narasi Tradisional Sejarah Penjajahan
Perhitungan masa penjajahan yang berujung pada klaim 350 tahun dimulai sejak kedatangan Cornelis de Houtman di Banten pada tahun 1596. Namun, banyak sejarawan yang menilai bahwa perhitungan ini tidak memperhitungkan fakta-fakta penting mengenai perlawanan daerah-daerah lokal.
Narasi ini sering kali diulang oleh tokoh-tokoh penting di Indonesia, termasuk Presiden Soekarno. Dia pernah menyatakan, “Selama 350 tahun kita hidup dalam penjajahan,” dalam pidato peringatan kemerdekaan.
Lebih dari itu, tokoh seperti Mohammad Yamin juga berkontribusi dalam mempopulerkan angka tersebut. Mereka semua memiliki tujuan untuk membangkitkan rasa nasionalisme dan cinta tanah air di kalangan masyarakat.
Aspek Sejarah yang Terlupakan dalam Narasi Penjajahan
Akar dari narasi 350 tahun ini dapat ditelusuri dari pernyataan Gubernur Jenderal Hindia Belanda, de Jonge, pada tahun 1935. Dalam kesempatan itu, dia mengklaim bahwa Belanda telah berada di Indonesia selama 300 tahun dan akan terus berlanjut selama 300 tahun lagi.
Pernyataan ini, meskipun diungkapkan oleh seorang pejabat, sebenarnya lebih bersifat retorika politik. Tanpa mempertimbangkan realitas sejarah yang sesungguhnya, perkataan itu menciptakan kesalahpahaman yang berkepanjangan.
Kepentingan politik sering kali memengaruhi bagaimana sejarah dikemas. Dalam konteks ini, narasi penjajahan yang berkepanjangan menjadi alat untuk membangkitkan semangat perjuangan melawan kolonialisme.
Revisiting History: Mencari Kebenaran yang Lebih Akurat
Ahli hukum Belanda G.J. Resink merupakan salah satu tokoh yang menggugat validitas narasi penjahatan sejarah tersebut. Dalam karyanya, dia menegaskan bahwa pada tahun 1596 Belanda belum menjajah Indonesia, melainkan hanya mendirikan hubungan perdagangan.
Penjajahan secara militer baru dimulai jauh kemudian dan tidak merata. Resink menunjukkan bahwa wilayah-wilayah tertentu baru dikuasai Belanda jauh di abad ke-20 dengan contoh kasus Aceh, Bone, dan Klungkung.
Beberapa kerajaan lokal yang masih berdaulat hingga awal abad ke-20 membuktikan bahwa dominasi Belanda tidak menyeluruh. Hubungan diplomatik internasional yang mereka jalin menunjukkan bahwa penjajahan tidak sejalan dengan narasi umum yang sering diulang.
Dari analisis ini, Resink menyimpulkan bahwa tidak ada wilayah di Indonesia yang sepenuhnya dijajah selama 350 tahun. Jika melihat dari periode pendudukan Klungkung pada tahun 1908, maka periode penjajahan Belanda hanya berlangsung kurang lebih 37 tahun.
Melihat berbagai perspektif ini, penting untuk melakukan penilaian ulang terhadap narasi sejarah yang telah mapan. Revisi ini bukan hanya untuk mendapatkan gambaran yang akurat, tetapi juga untuk memberi penghormatan kepada perjuangan daerah-daerah yang tetap berdaulat.
Pemahaman yang lebih tepat tentang sejarah akan membantu masyarakat menjalani kehidupan yang lebih baik. Dengan menggali dan memahami sejarah secara lebih komprehensif, kita bisa membangun identitas yang lebih kuat dan berlandaskan fakta yang sesungguhnya.