Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) baru-baru ini mengungkapkan berbagai alasan mengapa penggunaan sirene dan rotator, yang kini lebih dikenal dengan istilah “Tot Tot Wuk Wuk”, ditolak oleh banyak orang. Hal ini mencakup isu penyalahgunaan perangkat tersebut di jalan raya hingga dampak kebisingan yang ditimbulkan, menciptakan ketidaknyamanan di antara pengguna jalan lainnya.
Menurut Djoko Setijowarno, Wakil Ketua Pemberdayaan dan Pengembangan Wilayah MTI Pusat, masalah yang paling mencolok adalah banyaknya penyalahgunaan sirene dan strobo. Kendaraan pribadi sering menggunakan strobo dalam situasi non-darurat untuk memotong jalur, sehingga mengganggu arus lalu lintas dan menciptakan ketidakadilan di masyarakat.
Djoko menggarisbawahi bahwa penyalahgunaan ini telah mengubah persepsi publik terhadap sirene dan strobo. Masyarakat kini menganggap perangkat ini sebagai simbol kekuasaan, alih-alih alat yang digunakan untuk keselamatan umum.
Masalah Penyalahgunaan Sirene dan Kebisingan di Jalan
Di banyak kawasan perkotaan, penggunaan sirene yang bising menimbulkan masalah serius yang harus ditangani. Djoko menjelaskan bahwa kebisingan yang ditimbulkan oleh sirene sering kali menjadi gangguan, terutama di malam hari atau di lingkungan padat penduduk.
Hal ini tidak hanya mengganggu kenyamanan penduduk yang berusaha beristirahat, tetapi juga dapat berdampak negatif pada kesehatan mental mereka. Stres dan kecemasan bisa meningkat di kalangan warga yang terpaksa mendengar suara keras, terutama orang tua dan mereka yang sedang tidak sehat.
Kekurangan penegakan hukum sehubungan dengan penggunaan sirene menjadi faktor lain yang memperburuk situasi. Djoko menilai bahwa ketidakjelasan peraturan membuat banyak orang berani melanggar, sehingga memperbanyak kasus penyalahgunaan strobo.
Kepercayaan publik terhadap sirene dan strobo juga semakin menipis. Orang-orang kini lebih skeptis melihat kendaraan yang menggunakan bunyi peringatan, bertanya-tanya apakah itu dalam kondisi darurat atau semata-mata upaya untuk menghindari kemacetan.
“Ketika situasi darurat nyata terjadi, respons publik mungkin tidak secepat yang diharapkan,” kata Djoko menyesalkan keadaan ini.
Langkah Kebijakan Baru oleh Korlantas Polri
Menanggapi penolakan yang meluas terhadap sirene dan rotator, Korps Lalu Lintas (Korlantas) Polri mengambil langkah tegas dengan membekukan sementara penggunaan kedua perangkat tersebut. Irjen Agus Suryonugroho, Kakorlantas Polri, menjelaskan bahwa evaluasi menyeluruh diperlukan untuk mengevaluasi penggunaan sirene saat pengawalan.
“Kami menghentikan sementara suara-suara itu, sembari mengevaluasi kembali. Pengawalan bisa tetap dilakukan, tetapi dengan catatan sirene dan strobo tidak digunakan jika tidak diperlukan,” kata Agus.
Agus menekankan bahwa penggunaan sirene harus terfokus pada situasi yang benar-benar membutuhkan prioritas. Ini adalah langkah maju dalam upaya menata kembali kebijakan yang ada, sehingga masyarakat merasa lebih aman dan nyaman.
Djoko mengapresiasi keputusan tersebut, menilai bahwa ini adalah langkah awal yang baik untuk mengembalikan kepercayaan publik. Dia mengingatkan bahwa penertiban penggunaan perangkat ini tidak cukup dilakukan secara temporer, mengingat masalah yang ada sudah sangat mendalam.
“Kebijakan ini perlu dijalankan secara konsisten dan tidak hanya sekali,” tegas Djoko, menambahkan bahwa penggunaan sirene harus dibatasi hanya untuk situasi darurat yang sebenarnya.
Pentingnya Penegakan Hukum yang Konsisten
Pentingnya penegakan hukum menjadi kunci dalam menanggulangi masalah ini. Tanpa adanya action yang jelas, perangkat seperti sirene dan strobo hanya akan menjadi alat untuk kekuasaan segelintir orang. Djoko menekankan, perlu adanya regulasi yang lebih ketat tentang siapa yang boleh dan tidak boleh menggunakan sirene.
Pengguna jalan yang tidak memiliki hak seharusnya diawasi secara ketat. Dengan penegakan aturan yang lebih tegas, diharapkan situasi keamanan di jalan raya dapat lebih terjaga, tanpa menciptakan konflik antara pengguna jalan.
“Kegiatan pengawalan seharusnya hanya diberikan kepada pejabat penting seperti Presiden dan Wakil Presiden. Pejabat lainnya tidak perlu mendapatkan perlakuan yang sama,” tegas Djoko, menyoroti ketidakadilan yang dirasakan masyarakat.
Masyarakat berharap bahwa langkah-langkah ini akan diikuti dengan evaluasi yang mendalam dan jangka panjang. Dengan cara ini, mereka berharap dapat menemukan solusi yang lebih efektif untuk meminimalisir kebisingan dan penyalahgunaan, demi terciptanya ketertiban di jalan raya.
Di tengah hiruk-pikuk kemacetan di kota-kota besar, penting bagi setiap pengguna jalan untuk merasa aman dan nyaman dalam perjalanan mereka. Kebijakan yang jelas dan implementasi yang tegas adalah langkah yang mutlak diperlukan untuk mencapai keadaan tersebut.














