Baru-baru ini, sebuah video viral menunjukkan sekelompok pemengaruh yang tampak terkejut mencoba buah sukun mentah langsung dari pohonnya. Buah ini, yang sering disiapkan melalui proses penggorengan atau pengukusan, ternyata bisa dinikmati begitu saja, memberikan pengalaman rasa yang unik bagi para penikmatnya.
Beberapa orang yang mencobanya menggambarkan sensasi rasa sukun matang tersebut mirip dengan es krim, lembut dan agak creamy. Hal ini seolah membawa kita kembali ke masa lalu ketika orang-orang merasakan keuntungan dari menjadi lebih dekat dengan sumber pangan yang alami.
Fakta menariknya, kebiasaan memakan sukun mentah bukanlah penemuan baru. Di zaman dahulu, sukun sudah menjadi bagian dari diet manusia sebelum teknik pengolahan makanan berkembang sesuai kemajuan zaman.
Menggali Akar Budaya Buah Sukun di Indonesia
Sukun adalah buah tropis yang memiliki akar kuat di Indonesia. Bukti bahwa buah ini telah lama dimanfaatkan terlihat pada relief Candi Borobudur dari abad ke-8 Masehi, yang menggambarkan sukun sebagai bahan pangan yang penting dalam masyarakat saat itu.
Selama berabad-abad, sukun telah memberikan kontribusi bagi pola makan penduduk lokal. Popularitasnya mulai meningkat ketika bangsa Eropa menemukan nilai gizi dan kepraktisan buah ini untuk diolah menjadi berbagai hidangan.
Ketika era penjelajahan samudera mencapai puncaknya di akhir abad ke-15, para penjelajah mulai mencari buah yang dapat menenangkan kelaparan. Di sinilah sukun mulai dikenal di luar Indonesia.
Penemuan dan Nama Sukun oleh William Dampier
Pada tahun 1686, penjelajah Inggris, William Dampier, menemukan sukun di Guam dan mengenalinya sebagai buah yang unik. Dalam bukunya, ia menggambarkan sukun dengan istilah “breadfruit” karena rasa dan teksturnya yang menyerupai roti ketika dibakar.
Dampier menulis bahwa sukun adalah buah yang “sangat lezat,” mampu mengatasi kelaparan, bahkan dapat membantu menyembuhkan penyakit kudis. Pengamatan ini menciptakan rasa ingin tahu di kalangan orang Eropa yang belum merasakannya.
Walaupun demikian, tantangan logistik dalam membawa bibit sukun ke Eropa menjadi penghalang bagi penyebaran buah ini, hingga peneliti Belanda, Georgius Everhardus Rumphius, juga menyoroti potensi gizi sukun dalam karyanya.
Ambisi James Cook dan Penyebaran Sukun ke Dunia
Pada tahun 1775, pelaut James Cook bersama ahli botani Joseph Banks berhasil membawa bibit sukun ke koloni Inggris. Mereka percaya bahwa sukun dapat menjadi solusi pangan yang bergizi bagi penduduk koloni, termasuk budak yang bekerja di perkebunan.
Akhirnya, raja Inggris, George III, memberikan izin untuk membawa dan menanam sukun di berbagai wilayah, dari Karibia hingga Amerika Tengah. Ini memicu penyebaran sukun ke seluruh dunia, termasuk Afrika dan Asia.
Transformasi ini tidak hanya mengubah pola makan di koloni, tetapi juga memberikan Masyarakat sipil di negara-negara tersebut akses baru terhadap sumber pangan yang bernutrisi.
Kandungan Nutrisi dan Manfaat Kesehatan Sukun
Awalnya, khasiat sukun terbatas pada pengamatan empiris, yang perlahan-lahan didukung oleh berbagai penelitian modern. Suatu studi menunjukkan bahwa sukun kaya akan vitamin C, kalium, dan magnesium.
Berdasarkan informasi dari Departemen Kesehatan, buah ini juga tinggi serat, rendah lemak, dan gula. Oleh karena itu, sukun kini dianggap sebagai “superfood” yang menjanjikan bagi mereka yang mencari manfaat gizi optimal.
Selain data nutrisi, keunggulan lain dari sukun adalah kemudahan dalam menanamnya dan ketahanannya terhadap cuaca ekstrem. Dengan kelebihan ini, sukun berpotensi menjadi solusi untuk menghadapi krisis pangan global yang semakin mendesak.














