Temuan terbaru dari analisis citra satelit menunjukkan bahwa China semakin memperkuat kehadirannya di Laut China Selatan. Dalam beberapa tahun belakangan, pulau-pulau buatan yang dimiliki Beijing di Kepulauan Spratly terus berkembang, dengan dibangunnya berbagai fasilitas baru yang memperluas kemampuan intelijen, pengawasan, dan pertahanan di kawasan tersebut.
Meski banyak negara menolak klaim China atas wilayah tersebut, Beijing tetap berpegang pada apa yang disebut sebagai “hak historis”. Namun, landasan hukum untuk klaim tersebut telah dihancurkan oleh putusan permanen Hak Asasi Manusia di Den Haag pada tahun 2016, yang menolak klaim-klaim tersebut sebagai tidak valid.
Pernyataan terakhir dari juru bicara Kementerian Luar Negeri China kembali menegaskan sikap mereka yang menolak keputusan arbitrase tentang Laut China Selatan. Penolakan ini menjadi bagian dari strategi China untuk menguatkan kontrol atas wilayah yang dipersengketakan ini.
Perkembangan Infrastruktur Militer di Pulau Buatan China
Dalam upaya memperkuat kehadiran militer, Beijing tak henti-hentinya mengerahkan kapal perang dan penjaga pantai di perairan yang mereka kuasai. Pulau-pulau yang telah direklamasi menjadi pos strategis lengkap dengan infrastruktur militer, termasuk landasan udara dan sistem radar yang canggih.
Aktivitas militer di kawasan ini sering kali memicu ketegangan dengan negara-negara lain, terutama Amerika Serikat. Operasi “Freedom of Navigation” yang dijalankan oleh AS dan patroli bersama sekutu, seperti Filipina, bertujuan untuk menantang klaim area tersebut.
Asia Maritime Transparency Initiative (AMTI) melaporkan bahwa ada peningkatan jumlah fasilitas baru di tiga pos terluar: Fiery Cross Reef, Mischief Reef, dan Subi Reef. Fasilitas tersebut berpotensi meningkatkan kemampuan perang elektronik serta sistem intelijen berbasis kendaraan yang lebih efisien.
Fasilitas Baru yang Ditemukan di Tiga Titik Strategis
Analisis citra satelit yang dilakukan oleh AMTI menunjukkan bahwa dua radome baru telah dipasang di Subi Reef. Desain radome ini mirip dengan struktur yang sudah ada di Fiery Cross Reef dan Mischief Reef sejak 2017, yang menunjukkan bahwa China berusaha untuk meningkatkan cakupan pengintaian di wilayah tersebut.
Di Mischief Reef, ditemukan juga tiga set dari tiga emplasemen yang dibangun pada tahun 2023. Struktur ini dirancang untuk menampung sistem senjata bergerak, seperti artileri dan peluncur roket, yang bisa memperkuat pertahanan pos tersebut secara signifikan.
Peningkatan infrastruktur ini menegaskan bahwa fungsi utama pangkalan militer China di kawasan ini adalah memberikan cakupan intelijen yang tak tertandingi. Hal ini juga memungkinkan angkatan laut China untuk beroperasi lebih leluasa pada masa damai dan dapat mempengaruhi spektrum elektromagnetik jika terjadi konflik.
Respon Negara Lain Terhadap Aktivitas China di Laut China Selatan
Tidak hanya China yang melakukan reklamasi, Vietnam juga tampak memperluas aktivitas di wilayah yang mereka kuasai di Kepulauan Spratly. Kementerian Luar Negeri China menyatakan keberatan terhadap pembangunan fasilitas oleh negara lain yang dianggap “diduduki secara ilegal”.
Situasi ini menciptakan ketegangan di antara negara-negara yang memiliki klaim territorial di Laut China Selatan. Selain Vietnam, negara-negara lain seperti Filipina dan Malaysia juga terlibat dalam persengketaan yang sama, mengingat kekayaan sumber daya dan jalur perdagangan yang sangat penting di kawasan ini.
Respons militer China terhadap aktivitas negara lain menunjukkan bahwa Beijing tidak akan dengan mudah mundur dari klaimnya. Kapal-kapal perang dan pesawat tempur terus melakukan patroli untuk menunjukkan kehadiran dan kekuatan mereka di laut yang dipersengketakan ini.














