Dalam dunia perdagangan internasional, biodiveritas sering kali terancam. Salah satunya adalah perdagangan biawak, yang ternyata menjadi salah satu komoditas ekspor khas Indonesia yang cukup menggiurkan. Indonesia kini dikenal sebagai salah satu eksportir kulit biawak terbesar, dengan banyak negara yang memanfaatkan kulit ini sebagai bahan baku produk fesyen premium.
Tahun 2024, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mengeluarkan kuota perdagangan untuk 476.000 ekor biawak, di mana 468.560 ekor di antaranya diperuntukkan bagi ekspor kulit. Kuota ini terbagi di 18 provinsi, dengan Sumatera Utara menyandang posisi sebagai wilayah yang memiliki alokasi terbesar.
Kulit biawak banyak digunakan dalam industri fesyen, termasuk pembuatan tas, dompet, serta aksesori seperti tali jam tangan. Meskipun perdagangan ini menguntungkan, para pakar mengingatkan perlunya perhatian dalam menjaga keseimbangan antara pemanfaatan ekonomi dan upaya konservasi.
Pakar dari Fakultas Kehutanan dan Lingkungan, Prof. Mirza Dikari Kusrini, menegaskan bahwa biawak air (Varanus salvator) memiliki peran penting dalam menjaga keseimbangan ekosistem. Sebagai predator oportunistik, biawak berfungsi menjaga populasi hewan kecil serta berperan dalam siklus ekosistem dengan memangsa berbagai jenis makhluk hidup.
Interaksi antara biawak dan manusia menjadi semakin sering, terutama di area perkotaan. Hal ini disebabkan oleh berkurangnya habitat alami dan melimpangnya sumber makanan, yang membuat biawak beralih ke lingkungan perkotaan untuk mencari makanan. Kasus biawak yang memangsa hewan peliharaan seperti kucing menjadi lebih umum di kawasan urban.
Pentingnya Regulasi dan Pemantauan dalam Perdagangan Biawak
Secara regulasi, biawak air tidak termasuk dalam kategori satwa dilindungi menurut Permen LHK P.106/2018, namun perdagangan internasionalnya tetap dikelola sedemikian rupa melalui pengawasan CITES Appendix II. Hal ini menjamin bahwa perdagangan dilakukan hanya dalam batasan kuota tertentu dengan izin yang valid.
Setiap perdagangan biawak harus didukung oleh kajian non-detriment findings (NDF), yang bertujuan untuk memastikan bahwa aktivitas perdagangan ini tidak merusak populasi biawak di alam liar. Meskipun status IUCN Red List untuk biawak air masih dalam kategori Least Concern, tetap saja pemerintah dan pemangku kepentingan harus mempertimbangkan risiko yang ada.
Prof. Mirza juga menekankan bahwa kuota perdagangan harus berdasarkan pada penelitian dan data ilmiah yang solid. Hal ini bertujuan agar mafia perdagangan tidak merugikan populasi biawak dan ekosistem yang lebih besar. Selain itu, pemasok biawak harus beroperasi dengan legalitas yang jelas.
Kebijakan yang berbasiskan sains menjadi kunci untuk memastikan bahwa perdagangan tidak hanya menguntungkan secara ekonomi, tetapi juga tidak mengganggu keseimbangan ekosistem. Jika kita mengabaikan aspek ini, bukan hanya ekosistem yang akan terpengaruh, tetapi juga kehidupan masyarakat lokal yang bergantung pada industri ini.
Risiko Kepunahan Biawak Akibat Perdagangan Internasional
Penelitian terbaru menunjukkan bahwa perdagangan internasional, terutama untuk kulit biawak, memberikan dampak serius terhadap populasi biawak terutama di Asia Tenggara. Bisingnya perdagangan ini, ditambah dengan kerusakan habitat akibat deforestasi, memperparah situasi dan meningkatkan risiko kepunahan bagi spesies ini.
André Koch dari Museum Penelitian Zoologi Alexandre Koenig menyatakan bahwa jika tingkat perdagangan saat ini terus berlangsung, hal ini akan mengarah ke eksploitasi berlebihan, yang berpotensi mengakibatkan punahnya biawak. Dalam situasi ini, kebijakan yang efektif menjadi hal urgent yang harus diterapkan.
Lebih menyedihkan, banyak biawak yang ditangkap untuk tujuan perdagangan hewan peliharaan, namun tidak dapat bertahan hidup dalam perjalanan ke negara-negara tujuan. Menurut penilaian, hanya sekitar 33 persen biawak dari Provinsi Papua yang berhasil sampai ke tujuan tanpa kehilangan nyawa mereka dalam prosesnya.
Masalah ini menunjukkan pentingnya tidak hanya regulasi tetapi juga pendekatan hilirisasi yang humanis dalam menjaga keseimbangan antara perdagangan dan perlindungan spesies. Ketidakadilan dalam sistem perdagangan bisa menambah beban bagi populasi biawak yang sudah terancam. Oleh karena itu, kesadaran masyarakat dan regulasi yang ketat perlu diperkuat.
Keberlanjutan ekosistem berkaitan erat dengan keadilan sosial bagi masyarakat lokal. Para pemburu lokal seharusnya mendapatkan imbalan yang adil untuk kontribusi mereka dalam menjaga populasi biawak sekaligus memasok kebutuhan pasar. Peningkatan pendapatan masyarakat lokal bisa menjadi lapisan penting dalam upaya perlindungan spesies ini dari kepunahan.














