Fenomena hidup bersama tanpa ikatan resmi, yang lebih dikenal dengan istilah kumpul kebo, telah menjadi bagian integral dari perjalanan sosial di Indonesia. Praktik ini tidak hanya muncul di era modern, melainkan telah ada sejak zaman kolonial, ketika pejabat-pejabat Belanda menjalani kehidupan serupa di Hindia Belanda.
Dari perspektif sejarah, fenomena ini bisa dilihat sebagai hasil dari berbagai faktor sosial dan ekonomi. Pada masa itu, banyak pejabat yang memutuskan untuk tinggal bersama perempuan lokal tanpa adanya ikatan pernikahan resmi, sebuah keputusan yang seringkali dipicu oleh sisi praktis dan juga kebutuhan emosional.
Praktik ini berkaitan erat dengan tantangan yang dihadapi oleh pejabat Belanda saat itu, yakni tingginya biaya dan risiko yang harus ditanggung jika mereka membawa istri dari Eropa ke Hindia Belanda. Sebagai solusi, banyak di antara mereka yang memilih untuk membangun hubungan dengan perempuan lokal, yang sering kali merupakan mereka yang berasal dari kalangan budak.
Pola Hubungan Pejabat Belanda di Zaman Kolonial
Sejarah mencatat beberapa gubernur yang terlibat dalam praktik ini. Gubernur Jenderal VOC, Gustaaf Willem Baron van Imhoff, yang memimpin pada tahun 1743 hingga 1750, adalah salah satu contoh. Dalam catatan sejarah, dia memiliki seorang budak perempuan yang dibaptis dan dijadikan “teman hidup” di rumahnya, menciptakan sebuah hubungan yang di luar norma pada masa itu.
Van Imhoff menerima hadiah budak bernama Helena Pieters dari Ratu Bone, dan dari hubungan tersebut, mereka memiliki beberapa anak. Ini menggambarkan bagaimana relasi semacam ini tidak hanya bersifat pribadi tetapi juga melibatkan isu kekuasaan dan status sosial.
Contoh lainnya adalah Gubernur Jenderal VOC, Reinier de Klerk, yang menjabat pada akhir abad ke-18. Saat tiba di Jawa, de Klerk juga memilih untuk hidup bersama seorang budak perempuan, dan dari hubungan mereka lahir banyak anak yang kemudian dikirim ke Belanda. Ini menunjukkan adanya kesinambungan pola ini di kalangan elit pemerintahan kolonial.
Norma Sosial di Kalangan Elit dan Pegawai Kolonial
Praktik kumpul kebo tidak hanya terbatas pada kalangan gubernur. Di lapisan masyarakat yang lebih rendah, seperti pegawai, prajurit, dan pedagang Eropa, juga banyak yang menjalani kehidupan serupa. Kebiasaan ini menunjukkan bahwa hubungan tanpa ikatan formal tersebut meluas ke berbagai strata sosial.
Masyarakat setempat menyebut praktik ini dengan istilah “kumpul Gerbouw”, yang memiliki arti bangunan atau rumah dalam bahasa Belanda, yang secara sarkastik menggambarkan kehidupan bersama tersebut. Sindiran ini mencerminkan bagaimana norma dan nilai sosial berkembang di tengah masyarakat saat itu.
Penasihat Gubernur Jenderal, Thomas Stamford Raffles, dan anggota Dewan Hindia lainnya pun diketahui memiliki hubungan tak resmi dengan budak perempuan, meskipun mereka sudah beristri. Raffles sendiri tampaknya tidak mempermasalahkan hubungan ini, menciptakan lingkungan di mana kumpul kebo menjadi hal yang sudah lumrah.
Implikasi Sosial dan Budaya dari Hubungan Tanpa Ikatan
Praktik hidup bersama dalam konteks kumpul kebo memiliki dampak besar bagi struktur sosial pada masa itu. Ini menciptakan hubungan yang rumit antara jajahan dan penjajah, di mana perempuan lokal sering kali menjadi korban eksploitasi. Di sisi lain, hubungan ini juga menciptakan keturunan yang lahir dari kondisi tersebut.
Hubungan yang terjalin tidak selalu didasari oleh cinta, seringkali ditentukan oleh faktor-faktor ekonomi dan sosial. Masyarakat lokal mengalami dampak dari kebijakan kolonial, sehingga perempuan menjadi alat untuk mempertahankan posisi dan kekuasaan para pejabat Belanda.
Seiring berjalannya waktu, praktik ini menciptakan warisan kompleks yang berpengaruh pada pola sosial dan budaya di Indonesia. Kumpul kebo menjadi simbol dari pergeseran nilai dan norma, yang masih relevan dibahas dalam konteks kehidupan modern saat ini.