Jakarta memiliki kisah kelam tentang hubungan antara manusia dan harimau Jawa yang pernah menghuni daerah tersebut. Ratusan tahun lalu, harimau dianggap ancaman yang nyata, yang memicu perburuan masif yang berujung pada kepunahan spesies ini.
Ketika itu, Jakarta, yang dikenal sebagai Batavia, merupakan wilayah yang dipenuhi hutan lebat dan satwa liar. Dalam kondisi seperti ini, manusia tidak hanya harus menghadapi tantangan kehidupan sehari-hari, tetapi juga risiko serangan harimau yang berkeliaran di sekitar mereka.
Penduduk setempat hidup dalam ketakutan, terutama di daerah-daerah yang menjadi jalur harimau. Seiring waktu, kebijakan pemerintah kolonial mulai diambil untuk mengatasi persoalan ini, yang justru memperburuk keadaan harimau Jawa.
Serangkaian Serangan Harimau yang Menghantui Jakarta
Di masa lalu, Jakarta adalah pusat aktivitas perdagangan dengan hutan yang lebat di sekelilingnya. Harimau Jawa, selaku predator puncak, juga menghuni wilayah ini, mengganggu kehidupan masyarakat dengan serangan yang cukup sering terjadi.
Sejarawan mencatat bahwa antara tahun 1633 hingga 1687, lebih dari 30 serangan harimau terjadi, menewaskan banyak orang. Serangan ini sering kali terjadi di tempat-tempat seperti ladang tebu, di mana harimau dapat dengan mudah bersembunyi dan berburu mangsa.
Salah satu insiden yang paling mengerikan terjadi pada tahun 1644, di mana seorang pemburu mengalami serangan mendadak. Harimau tersebut menyerang dari belakang, menambah rasa takut di antara penduduk yang mulai memperdebatkan keamanan mereka setiap hari.
Respons Pemerintah Kolonial Terhadap Serangan Harimau
Hasil setiap serangan ini membuat pemerintah kolonial berupaya mencari solusi. Pada tahun 1644, VOC mengerahkan lebih dari 800 orang untuk memburu keberadaan harimau-harimau tersebut guna melindungi rakyat.
Pemerintah tidak hanya melibatkan pasukan resmi, tetapi juga mengajak masyarakat sipil untuk bergabung dalam perburuan. Sebagai insentif, mereka menawarkan hadiah uang tunai, yang membuat banyak orang berlomba-lomba untuk memburu harimau demi keuntungan.
Setiap harimau yang berhasil dibunuh dihargai dengan 10 ringgit, jumlah yang cukup menguntungkan bagi penduduk saat itu. Imbalan ini menambah semangat masyarakat untuk berpartisipasi lebih aktif dalam perburuan.
Langkah Menyelamatkan Harimau, Namun Justru Mempercepat Kepunahan
Perburuan yang dilakukan membuat populasi harimau berangsur-angsur menyusut. Dalam laporan sejarawan, tercatat lebih dari 50 harimau dibunuh setiap tahun di sekitar Batavia. Hal ini berkontribusi pada kepunahan harimau Jawa secara perlahan.
Harimau mulai bermigrasi ke wilayah lain yang lebih terpencil. Namun, masalah tidak berhenti di situ; perburuan terus meluas ke daerah lain di pulau Jawa dengan alasan yang sama, yaitu keamanan penduduk.
Dalam riset mengenai perburuan harimau, beberapa ahli menunjukkan bahwa perubahan dalam ekosistem akibat eksploitasi sumber daya menjadikan konflik antara manusia dan harimau semakin tidak terelakkan. Hal ini berujung pada penurunan populasi harimau yang drastis.
Kepunahan Harimau Jawa dan Pembelajaran Penting bagi Masa Depan
Pada tahun 1940, populasi harimau Jawa diperkirakan tinggal antara 200 hingga 300 ekor. Sayangnya, jumlah tersebut terus menurun hingga akhirnya dinyatakan punah pada tahun 1980-an. Kasus ini menunjukkan bahwa eksploitasi yang berlebihan dapat berakibat fatal bagi spesies.
Di balik kisah kelam ini, ada pelajaran berharga tentang pentingnya konservasi dan perlindungan terhadap spesies terancam punah. Upaya untuk menyeimbangkan kebutuhan manusia dan alam harus dijalani dengan bijak agar tidak terjadi kepunahan yang serupa di masa depan.
Menggunakan pendekatan yang lebih ramah lingkungan dan melibatkan masyarakat lokal dalam konservasi menjadi salah satu strategi yang harus diterapkan. Kisah harimau Jawa seharusnya menjadi pengingat akan tanggung jawab kita terhadap flora dan fauna di lingkungan sekitar.














