Konflik di Myanmar kian memanas, khususnya di Negara Bagian Rakhine, di mana serangan udara baru-baru ini mengakibatkan banyak korban jiwa. Kejadian tragis ini menyoroti betapa rentannya situasi di kawasan tersebut, terutama bagi anak-anak dan masyarakat sipil yang terjebak dalam kekerasan.
Menurut laporan, paling tidak 18 orang tewas pada insiden yang terjadi di dua sekolah swasta di daerah tersebut. Di antara korban, sebagian besar adalah siswa yang masih berusia belasan tahun, menimbulkan keprihatinan mendalam akan perlindungan terhadap anak-anak di dalam konflik bersenjata.
Serangan yang dilakukan oleh militer Myanmar ini menargetkan Sekolah Menengah Swasta Pyinnyar Pan Khinn dan A Myin Thit di Desa Thayet Thapin, mengakibatkan kerugian besar tidak hanya dalam hal nyawa, tetapi juga hancurnya fasilitas pendidikan. Juru bicara Tentara Arakan (AA) menjelaskan bahwa jet tempur menjatuhkan bom di lokasi yang padat siswa, memperlihatkan kurangnya perhatian terhadap keamanan anak-anak.
Pihak AA menyayangkan insiden tersebut dan menyatakan kesedihan mendalam terhadap keluarga yang kehilangan anggota mereka. Serangan ini juga berdampak pada pengungsi yang berlindung di sekolah-sekolah tersebut, menambah daftar panjang penderitaan akibat konflik yang berkepanjangan.
Relawan kemanusiaan di daerah tersebut juga melaporkan banyaknya korban luka, dengan setidaknya 21 orang mengalami cedera, di mana enam di antaranya berada dalam kondisi kritis. Ini menjadi pengingat akan dampak nyata dari konflik yang tidak hanya merenggut nyawa, tetapi juga mengubah kehidupan sehari-hari masyarakat di Rakhine.
Respons Internasional Terhadap Kekerasan di Myanmar
UNICEF telah mengeluarkan pernyataan mengecam tindakan tersebut, menyebutnya sebagai serangan brutal yang semakin memperburuk situasi kemanusiaan di Rakhine. Dalam konteks ini, anak-anak dan keluarga mereka menjadi pihak yang paling menderita.
Kekerasan yang terjadi di Rakhine menunjukkan betapa pentingnya perhatian dari komunitas internasional. Berbagai lembaga harus bekerja sama untuk memberikan bantuan kepada mereka yang terdampak dan mendorong penyelesaian damai dari konflik yang berlarut-larut.
Myanmar telah menghadapi kekacauan besar sejak kudeta militer yang terjadi pada 1 Februari 2021. Tidak kurang dari 7.200 orang dilaporkan tewas akibat represifitas pasukan keamanan, menambah beban di tengah krisis kemanusiaan yang ada.
Sejarah Panjang Konflik di Rakhine
Negara Bagian Rakhine memiliki sejarah panjang konflik antara militer dan kelompok etnis bersenjata. Tentara Arakan (AA) menuntut otonomi yang lebih luas dan telah menguasai sebagian besar wilayah tersebut sejak melancarkan ofensif pada akhir tahun 2023.
Konflik ini berakar dari ketidakadilan sosial dan politik yang telah berlangsung bertahun-tahun. Ketegangan antar etnis pun semakin meningkat, dengan masing-masing pihak saling menyalahkan atas penderitaan yang diderita oleh masyarakat sipil.
Pendidikan menjadi salah satu sektor yang paling terdampak, di mana banyak sekolah ditutup akibat kekhawatiran akan keselamatan siswa. Ini berpotensi merusak masa depan generasi muda yang seharusnya mendapatkan pendidikan yang layak.
Pentingnya Meningkatkan Perlindungan bagi Anak-anak di Tengah Konflik
Keamanan anak-anak di daerah konflik harus menjadi prioritas utama terlebih ketika sekolah-sekolah menjadi salah satu target. Pemerintah dan lembaga internasional perlu berupaya lebih keras untuk melindungi hak-hak anak dan memastikan mereka tidak menjadi korban dalam konflik ini.
Pendidikan yang aman dan akses terhadap bantuan kemanusiaan dapat mengurangi dampak negatif dari konflik. Keberadaan fasilitas yang aman menjadi penting untuk menjaga keberlangsungan pendidikan bagi anak-anak yang terjebak dalam situasi berbahaya.
Langkah-langkah konkret harus diambil agar insiden serupa tidak terjadi lagi di masa depan. Dalam situasi seperti ini, dialog dan diplomasi perlu dijadikan sebagai jalan untuk menciptakan perdamaian berkelanjutan, yang akan membawa harapan bagi masyarakat Rakhine.