Pemerintah Indonesia baru-baru ini mendapatkan persetujuan untuk membeli jet tempur Chengdu J-10C dari China. Alokasi dana sebesar sekitar US$9 miliar atau setara Rp146 triliun disiapkan untuk memperkuat angkatan udara, yang menunjukkan komitmen serius terhadap modernisasi alat utama sistem persenjataan (alutsista).
Kepemilikan jet tempur canggih ini tentu memerlukan pilot-pilot yang handal dan terlatih. Sebuah kisah menarik muncul dari sejarah penerbangan Indonesia, yang mengisahkan seorang pilot pertama yang namanya harus diingat, Mulyono, yang mengalami nasib tragis dalam kariernya.
Mulyono, yang awalnya seorang masinis, terjun ke dunia penerbangan setelah melanjutkan pendidikan di Sekolah Penerbangan di Malang. Pada tahun 1945, ia berpindah ke Sekolah Penerbangan Maguwo yang kemudian berubah menjadi Akademi Angkatan Udara (AAU), menandai awal karier yang penuh tantangan di bidang kedirgantaraan.
Sejarah Awal Penerbangan Militer di Indonesia
Penerbangan militer di Indonesia dimulai dalam masa perjuangan merebut kemerdekaan. Mulyono, sebagai kadet, terlibat dalam aksi-aksi penerbangan yang berbahaya, termasuk serangan udara terhadap pasukan Belanda di Semarang pada tahun 1947.
Aksi tersebut menjadi tonggak sejarah bagi Angkatan Udara Republik Indonesia (AURI) dan menempatkan Mulyono sebagai pilot tempur pertama yang diakui dalam sejarah. Ia berhasil menjalankan misi-misi penting, termasuk menjatuhi bom di lokasi-lokasi strategis milik lawan.
Keberaniannya tak hanya diukur dari aksinya di lapangan, melainkan juga melalui kemampuan teknik penerbangan yang mumpuni. Mulyono dikenal mampu melakukan manuver yang rumit, menandakan bakat dan dedikasinya yang luar biasa dalam dunia penerbangan.
Kemuliaan dan Keberanian Mulyono sebagai Pilot
Sepanjang kariernya, Mulyono diakui sebagai sosok yang cerdas dan berbakat. Banyak tugas yang diemban termasuk membawa logistik bagi pejuang-pejuang kemerdekaan, menjadikannya sebagai figur penting yang selalu siap dalam setiap misi.
Kemampuan manuver pesawatnya membuatnya mampu menyasar target dengan tepat, bahkan dalam situasi yang sangat sulit. Dedikasi dan kepiawaiannya tersebut menempatkan Mulyono sebagai salah satu pilot yang dihormati dan dikagumi di kalangan rekan-rekannya.
Namun, jalan kariernya tidak seindah yang dibayangkan. Momen-momen berbahaya seringkali mengintai, termasuk saat Mulyono harus mengatasi tantangan fisik dan mental dalam dunia penerbangan tempur. Kebanggaan menyandang gelar pilot sering kali dibayangi oleh risiko yang harus dihadapi.
Tragedi yang Menimpa Mulyono di Puncak Kariernya
Sayangnya, karier Mulyono berakhir secara tragis pada 12 April 1951, saat ia sedang memimpin pertunjukan aerobatik untuk merayakan lima tahun AURI. Dalam penerbangan ini, ia menggunakan pesawat Mustang dan memimpin formasi di depan, menandakan kepercayaan yang diberikan kepada kemampuannya.
Aksi aerobatik tersebut terlihat mengesankan hingga suatu ketika, pesawat yang dikemudikannya mengeluarkan ledakan kecil dan menjatuhkan pesawatnya dalam sebuah kecelakaan tragis. Peristiwa ini mengejutkan masyarakat, yang awalnya menyangka ini adalah bagian dari pertunjukan.
Pesawatnya jatuh dengan cepat, menukik tajam ke tanah dan menyebabkan Mulyono meninggal dunia dalam usia yang sangat muda, hanya 28 tahun. Kepergiannya meninggalkan duka yang mendalam, terutama dalam jajaran Angkatan Udara dan seluruh rakyat Indonesia.














