Bayangkan seorang pria yang telah lama dianggap mati, tiba-tiba ditemukan hidup di tempat yang tidak terduga. Kisah ini mengisahkan seorang tentara Jepang bernama Teruo Nakamura, yang menghabiskan tiga dekade bersembunyi di hutan Maluku, tanpa mengetahui bahwa Perang Dunia II telah berakhir.
Teruo, yang berasal dari Taiwan, bergabung dengan tentara Jepang pada tahun 1942. Awalnya, dia ditugaskan di Halmahera dan kemudian dipindahkan ke Morotai. Di sanalah, dalam perang yang berkepanjangan, nasibnya berubah membuatnya terjebak dalam hutan selama bertahun-tahun.
Dengan perjuangan yang penuh liku, dia bertahan hidup dengan berburu dan memanfaatkan segala sumber daya yang ada di sekitar. Ini bukan hanya kisah tentang ketahanan, tetapi juga tentang bagaimana humas konflik dapat membuat seseorang hidup dalam pengasingan.
Awal Karir Militer Teruo Nakamura yang Mengejutkan
Teruo Nakamura, yang lahir sebagai Attun Palalin, berasal dari Taiwan dan bergabung dengan militer Jepang saat tanah kelahirannya berada di bawah pendudukan Jepang. Ketika terjunnya ke dalam militer, dia mengganti namanya dan mengambil peran sebagai sukarelawan dalam angkatan bersenjata.
Penugasan awalnya membawa dia jauh dari rumah, hingga akhirnya terperangkap dalam konflik yang berkepanjangan. Teruo menjadi bagian dari Resimen Infanteri 211 yang berjuang di Pulau Morotai, menjalankan tugas untuk mempertahankan wilayah tersebut dari serangan pasukan musuh.
Namun, situasi berubah drastis di tahun 1945 ketika pasukan Jepang terdesak. Dalam keputusasaannya, Teruo melarikan diri ke hutan, tidak menyadari bahwa perang telah berakhir dan dia diwartakan oleh dunia luar sebagai orang yang hilang.
Terisolasi di Hutan Selama Tiga Dekade
Saat terpisah dari rekan-rekannya, hubungan Teruo dengan tentara lain memburuk. Menghadapi ancaman dari kawan-kawannya sendiri, dia memilih untuk melarikan diri dan bertahan hidup sendiri di dalam hutan. Di sinilah kisah perkehidupannya menjadi sangat menginspirasi.
Teruo mengandalkan bakat bertahannya dan pengetahuan tentang alam. Dia membangun gubuk sederhana dari bambu serta menanami kebun kecil untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya. Tanaman yang ditanamnya mencakup singkong dan pisang yang membantunya bertahan hidup.
Selama bertahun-tahun, ketahanan Teruo membuatnya belajar berbagai keterampilan hidup. Dia menggunakan pisau sebagai alat berburu dan mengandalkan teknik sederhana untuk mendapatkan api, bahkan meniru cara membedakan musim dan cuaca dari lingkungan sekitarnya.
Penemuan yang Mengejutkan setelah Hampir Tiga Puluh Tahun
Keberadaan Teruo akhirnya terungkap pada tanggal 18 Desember 1974 ketika ditemukan oleh tentara Indonesia. Saat ditemukan, Teruo dalam kondisi sehat, tampak utuh meskipun selama ini hidup jauh dari peradaban.
Dia ditemukan sedang menebang pohon, dengan kondisi fisik yang masih rapi. Teruo bahkan memiliki rutinitas mandi dan mencukur rambut agar tetap terawat. Ini menciptakan kesan bahwa hidup di alam justru membantunya beradaptasi dan bertahan lebih baik.
Setelah penemuan itu, dunia luar mulai mengkaji ulang kisahnya. Dia dibawa ke kota dan diperiksa kesehatan sebelum dibawa ke Jakarta untuk bertemu dengan duta besar Jepang di Indonesia. Pengalaman ini sangat menyentuh karena Teruo tidak menyangka akan mendapatkan kembali kehidupannya yang hilang.
Perjuangan untuk Kembali ke Kehidupan Normal
Meskipun terpisah jauh dari masyarakat, proses kembali ke kehidupan normal bagi Teruo tak semudah yang dibayangkan. Dia harus disadarkan bahwa perang telah berakhir dan banyak hal telah berubah. Duta besar bersama atasannya menyediakan arahan penting mengenai situasi global saat itu.
Teruo diminta untuk menyerahkan senjatanya dan kembali ke Taiwan, di mana dia menceritakan kisahnya sendiri setelah kembali. Meskipun begitu banyak waktu hilang, pengalamannya selama 30 tahun di hutan memberikan pandangan baru tentang hidup dan perilaku manusia dalam kondisi tersulit.
Dia akhirnya berkumpul kembali dengan istri, meskipun sudah 30 tahun terpisah, dan mendapati bahwa banyak hal telah berubah di Taiwan pasca penjajahan Jepang. Teruo menghabiskan sisa hidupnya di sana, mengenang perjalanannya dan segala pelajaran dari pengalaman hidup yang tidak biasa itu.














