Ratusan tahun yang lalu, masyarakat Batavia tidak hanya hidup dalam bayang-bayang kolonialisasi tetapi juga berada di bawah ancaman nyata dari harimau. Serangan harimau Jawa menjadi fenomena yang sering terjadi dan membuat penduduk serta pemerintah kolonial merasa tertekan dan terancam dalam kehidupan sehari-hari mereka.
Sejarah mencatat, dari tahun 1633 hingga 1687, terdapat sebanyak 30 laporan serangan harimau terhadap penduduk Batavia, dengan kebun tebu sebagai lokasi favorit harimau. Kebun tebu yang rimbun dan padat menjadi tempat ideal bagi harimau untuk berburu, terutama karena populasi babi hutan yang melimpah di sekitarnya.
Salah satu insiden paling mengerikan terjadi pada tahun 1659 ketika empat belas orang warga Batavia menjadi korban serangan harimau di daerah Ancol. Peristiwa ini menunjukkan betapa seriusnya ancaman harimau pada saat itu dan menciptakan ketakutan yang mendalam di benak masyarakat.
Perburuan Harimau dan Tindakan VOC di Batavia
Di tengah ketakutan yang melanda masyarakat, pemerintah VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie) mengambil langkah besar untuk mengatasi permasalahan ini. Pada tahun 1644, VOC mengerahkan sekitar 800 orang untuk memburu harimau yang mengganggu ketenangan penduduk Batavia.
Pemerintah bahkan mengadakan pameran bangkai harimau yang berhasil diburu di depan Balai Kota, yang sekarang dikenal sebagai kawasan Kota Tua. Hal ini dimaksudkan untuk memberikan efek jera kepada harimau sekaligus menghibur masyarakat yang ketakutan.
Sebagai insentif bagi para pemburu, VOC menawarkan imbalan uang tunai yang cukup besar, yaitu sekitar 10 ringgit untuk setiap harimau yang berhasil dibunuh. Uang tersebut cukup untuk memenuhi kebutuhan pangan satu keluarga selama setahun, sehingga semakin memotivasi masyarakat untuk berburu.
Konflik Manusia dan Harimau yang Berkelanjutan
Seiring berjalannya waktu, konflik antara manusia dan harimau semakin tidak terhindarkan seiring dengan penyusutan habitat harimau akibat pembukaan lahan pertanian dan perkebunan. Dalam penelitiannya, antropolog R. Wessing melaporkan bahwa rata-rata 2.500 orang setiap tahun di Jawa menjadi korban serangan harimau saat itu.
Riset-riset tersebut menunjukkan bahwa perburuan yang dilakukan secara masif selama ratusan tahun membawa dampak yang sangat negatif terhadap populasi harimau. Kondisi ini semakin diperburuk oleh kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh ekspansi wilayah pertanian.
Berdasarkan data yang ada, populasi harimau Jawa anjlok dari 200-300 ekor pada tahun 1940, dan pada tahun 2008, spesies ini dinyatakan punah berdasarkan daftar merah IUCN. Penurunan populasi yang demikian drastis menjadi salah satu indikator buruknya pengelolaan lingkungan pada masa tersebut.
Penampakan Harimau Jawa dan Harapan untuk Konservasi
Meski sudah dinyatakan punah, berita mengenai penampakan harimau Jawa sering muncul di masyarakat, meski tanpa bukti yang kuat. Pada tahun 2019, ada laporan dari warga di desa Cipendeuy, Sukabumi Selatan, yang mengklaim melihat harimau serta menemukan jejak kaki dan bulu yang diyakini berasal dari harimau.
Kemunculan laporan-laporan semacam ini memberikan harapan bagi para konservasionis untuk melakukan penelitian lebih lanjut. Meski pun harimau Jawa mungkin tidak ada lagi, keberadaan jejak-jejak fisik dapat memberikan indikasi bahwa spesies ini pernah menghiasi tanah Jawa dan menjadi bagian penting dari ekosistem.
Upaya konservasi yang lebih serius dan kolaborasi lintas sektoral diperlukan untuk mencegah kejadian serupa di masa depan. Melindungi sisa-sisa habitat alam menjadi tantangan besar yang harus dihadapi oleh semua pihak.